Lewat waktu makan malam, ketujuh pemuda itu berkumpul di kamar River. Bercanda seperti biasa, membahas hal-hal yang tidak penting, seperti tidak pernah kehabisan bahan obrolan, meskipun bisa dibilang hanya Maxime, Ken dan Aro yang sepertinya memiliki banyak hal tidak penting yang bisa dibicarakan.
Sementara Axel mendengarkan sambil membaca buku di sofa. Arsen, entah mendengarkan atau tidak, tapi dia tengah memejamkan mata sambil bersandar pada kepala ranjang. Hanya Rex, yang sesekali menimpali obrolan keempat temannya.
“Teman-teman.” River membalikan tubuhnya dari jendela, menghadap pada teman-temannya, meminta perhatian mereka.
“Ada apa?” tanya Aro.
“Terjadi sesuatu?” Axel menutup bukunya, dia merasa sejak pulang dari kota River agak sedikit aneh.
“Aku rasa, aku harus segera pergi ke Vlad.” Jawabnya, kemudian mengambil buku harian Ariana di dalam nakas. Kemudian naik ke atas tempat tidur, setelah Rex bergeser, memberi River ruang untuk duduk di sana. “Aku harus menemukan ayahku.” Katanya sambil menyerahkan buku itu pada Rex.
Rex melihat isinya, membacanya dengan teliti, teman-temannya yang lain ikut melihat. Bahkan Axel meninggalkan bukunya si sofa lalu naik ke tempat tidur, tangannya bertumpu pada paha Arsen yang juga sudah terbangun hendak melihat buku itu.
Kemudian mereka saling berpandangan lalu kompak menatap River. Rex mengembalikan buku itu, mereka diam, menunggu River menjelaskan semuanya sebelum mereka membuat spekulasi sendiri.
River menghela napas, “Buku itu milik ibuku.” Katanya, “Aku bisa ke sana lewat jalan rahasia yang ditulis di buku ini. Aku tidak harus melewati kota Vlad, aku bisa langsung sampai ke kastilnya. Aku rasa itu tidak akan bahaya. Lagi pula..”
“Lagi pula apa?” desak Ken.
“Aku bermimpi tentang Vernon.” Jawaban River membuat tubuh mereka menengang.
“Aku rasa, Vernon ada di kastil Vlad.” Lanjutnya.“Kau serius? Tapi.. bagaimana bisa?” tanya Arsen bingung.
“Itu lah yang harus aku cari tahu, kalau memang Vernon ada di sana. Bagaimana bisa, bagaimana caranya? Dan apa yang dia rencanakan.” Mata River menerawang, mengingat percakapan Vernon dengan seseorang bertudung hitam itu, yang belum bisa River ceritakan pada teman-temannya yang lain.
Maxime menepuk punggung Aro, membuat pemuda berambut pirang itu mengaduh dan hampir terjatuh dari tempat tidur. “Baiklah, kapan kita berangkat?” tanyanya antusias, beberapa minggu di Elios tanpa melakukan sesuatu yang menarik membuatnya benar-benar bosan. Maxime butuh petualangan yang baru lagi, dan sepertinya pergi ke Vlad terdengar menyenangkan.
“Tidak..tidak.. aku tidak bisa membahayakan kalian!” Tolak River.
Rex mendengus, menegakan badannya yang sedari tadi dia sandarkan pada kaki Aro yag tertekuk. “Membahayakan apanya? Kau meragukan kemampuan kami?” tanyanya mengejek seolah tersinggung.
“Bukan begitu tapi..”
“River.” Ken memotong, “Kami sudah pergi sejauh ini untuk menemanimu. Kami tahu resikonya, dan kami akan tetap bersamamu sampai kau menemukan jawaban yang kau cari.” Sungguh, rasanya baru kali ini Ken bicara seserius ini tanpa senyum jenaka nya membuat teman-temannya terdiam takjub.
River menghembuskan napas kasar, “Okay! Kita berangkat besok pagi. Kalian senang?” katanya sambil turun dari tempat tidur.
“Akhirnya..” Maxime meregangkan badannya, “Aku benar-benar butuh sesuatu yang menarik. Sepertinya aku tidak cocok jadi pangeran.” Katanya lalu merebahkan badan.
“Tentu saja, yang pantas jadi pangeran itu Oriver.” Aro melirik River sambil mengerling lalu berusaha menghindar dari lemparan bantal River sambil tertawa-tawa.
“Sudahlah, sekarang ada yang lebih penting dari pada menggodaku.”
“Apa?” tanya Arsen.
“Meminta izin Raja.”
***
Raja Osfaldo mengusap janggut kelabunya sembari mendengarkan River yang menjelaskan tentang maksudnya untuk pergi ke Vlad besok pagi. Teman-temannya berdiri di belakang River dengan gugup. Menghadapi Raja Osfaldo mirip seperti menemui Master Cedrik. Seperti Raja Osfaldo selalu tahu apa yang akan mereka lakukan.
“Kau tahu kan, Vlad sangat berbahaya untuk kalian.” Mata Raja Osfaldo mengedar kepada tujuh pemuda di hadapannya.
River tahu, pamannya akan bicara seperti ini.Dan dia sudah menyiapkan jawabannya, jawaban yang sama seperti yang dia katakana pada teman-temannya. River mengeluarkan buku harian Ariana dari saku celana bahannya, “Aku tahu jalan rahasia menuju Vlad.” Katanya, “Ibu menuliskannya di sini.” River menunjukan tulisan di mana Ariana menulis dengan jelas jalan rahasia yang mengarah langsung ke kastil Vlad.
Raja Osfaldo melirik buku itu, kemudian kembali pada River, “Sebegitu inginnya kau bertemu dengan keluarga ayahmu?” tanya Raja Osfaldo sembari memberikan kembali buku itu pada River.
“Paman..” ada rasa tidak enak hati dalam diri River, sungguh, bukannya dia tidak suka di Elios, tapi dia juga perlu tahu siapa ayahnya, kenapa dia ditinggalkan? Dan sepertinya pertanyaan itu memiliki jawabannya di Vlad. River hanya ingin mengetahui asal usulnya.
“Aku mengerti.” Kata Raja Osfaldo, “Aku hanya mengkhawatirkan keselamatanmu River, juga teman-temanmu yang lain.”
Raja Osfaldo turun dari singgasananya, kemudian berjalan hingga akhirnya berhadapan dengan River, tangannya mengusap bahu River pelan. “Kau baru saja kembali, tapi sekarang kau sudah akan pergi lagi, dan tempat itu sangat berbahaya.”
Perasaan hangat itu menjalari hati River, seolah dia bisa mendapatkan sosok seorang ayah dalam diri Raja Osfaldo, beginikah rasanya dikhawatirkan oleh seorang ayah?
River menyunggingkan senyum tipis, “Kami akan baik-baik saja paman, paman lupa, kalau ada anak dewa alam bawah bersama kami?” kata River sembari melirik Maxime yang terkesiap, “Kalau ada apa-apa, dia bisa membawa roh kami kembali. Iya kan?”
“Mmm.. ya, aku rasa... bisa.” Jawab Maxime ragu.
“Aku tidak bisa menahanmu di sini, kau memang berhak mengetahui tentang ayah dan ibumu. Aku hanya bisa berdoa untuk keselamatan kalian semua.” Raja Osfaldo akhirnya mengizinkan.
“Aku akan ikut bersama mereka.” Suara ketukan sepatu beradu dengan lantai mengisi kekosongan di ruangan sang Raja.
Puteri Irene, melenggang masuk dengan gaun hitam selututnya.“Puteri Irene!”
“Aku akan ikut bersama mereka, ayah.” Ulang sang Puteri.
River menghampiri saudarinya, menatap sang puteri dengan tatapan cemas. “Jangan bercanda! Di sana berbahaya, Irene.”
Puteri Irene mendengus, “Kalau berbahaya, kenapa kalian boleh pergi ke sana sementara aku tidak?”
“Karena mereka memiliki kemampuan di atas kita!” Raja Osfaldo angkat bicara, “Kau, tidak akan aku izinkan untuk ikut ke sana. Sudah cukup ayah memberimu kebebasan selama ini, Irene. Jangan banyak bertingkah! Sebentar lagi kau akan menikah, lebih baik kau rubah sikap keras kepalamu itu.”
Entah, ucapan Raja Osfaldo malah menohok Arsen kembali pada kenyataan bahwa gadis yang tengah dipandanginya dengan tatapan penuh kasih itu akan menjadi milik orang lain.
“Aku belum menyetujuinya ayah, apa ayah lupa itu?”
“Irene Clow!” ini, bukan hanya masalah sebentar lagi puterinya akan menikah, tapi juga mengenai keselamatan anak satu-satunya yang keras kepala itu. Vlad terlalu berbahaya untuk manusia biasa seperti mereka. Raja Osfaldo masih cukup waras untuk tidak membiarkan anaknya pergi ke tempat seberbahaya itu.
“Aku akan menuruti permintaan ayah kalau aku diperbolehkan pergi ke Vlad.” Puteri Irene akhirnya membuat penawaran. “Aku akan menyetujui pernikahanku dengan pangeran Luis, kalau perlu, sehari setelah aku pulang dari Vlad dengan selamat aku akan menikah dengannya. Apa ayah puas dengan penawaranku?” Irene bersidekap.
“Kenapa kau ingin sekali pergi ke sana?” Raja Osfaldo benar-benar tidak habis pikir, kenapa puterinya itu bersikeras ikut ke tempat yang berbahaya.
“Selama ini aku berlatih pedang, aku berlatih bela diri. Aku melatih kemampuanku dengan anggapan bahwa suatu saat nanti, aku bukan hanya menjadi seorang Puteri dari Elios, tapi juga ksatria yang tangguh. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa ayah, ayah harus percaya padaku.”
“Raja, saya akan menjamin keselamatan Puteri Irene.
“Arsen.” Semua orang menaruh pandang pada Arsen yang maju hingga bersebelahan dengan Puteri Irene yang menatapnya.
“Saya berjanji akan melindungi Puteri Irene, bahkan dengan nyawa saya sendiri. Puteri Irene akan kembali ke Elios dengan selamat.” Kata Arsen mantap.
Raja Osfaldo menatap Arsen dan anaknya bergantian, lalu menghela napas sembari memijit keningnya. “Baiklah, aku pegang janjimu itu Arsen Morigan.”
Puteri Irene langsung menubruk ayahnya, memeluk Raja Osfaldo erat, “Terima kasih ayah.” Bisiknya. Lalu melepaskan pelukannya, menatap Arsen lekat.
Meski tidak ada kata yang terlontar setelahnya, Arsen tahu Puteri Irene mengucapkan terima kasih padanya.
Arsen membalas tatapan itu dengan senyuman, kemudian kembali pada teman-temannya yang sudah pasti sekarang memikirkan hal-hal aneh dalam benak mereka.
Ah, apa yang harus aku katakan pada mereka nanti?
Tbc