[18.1] : Si Keras Kepala

4.4K 885 57
                                    

Aroma bunga lilac memenuhi penciuman Daryn, pria itu menghirup dalam-dalam wangi yang selalu mengingatkannya pada sang kekasih, Ariana, menambah kerinduannya yang terasa tidak pernah hilang dan berkurang, menyesakan Daryn disetiap harinya meski sudah berlalu sangat lama.

Daryn Vladimir, tidak pernah membayangkan saat ini akan tiba, bahkan untuk memimpikan hari ini pun rasanya dia tidak berani, hari di mana dia bisa bertemu anaknya, Oriver.

Hari di mana dia bisa memeluk anak yang dulu dia tinggalkan sendirian di gang gelap yang becek dan berbau tak sedap, hari di mana dia bisa mendengar langsung sang anak memanggilnya ayah.

Seharusnya ini jadi hari yang sempurna, tapi sepertinya sempurna yang Daryn inginkan tidak akan pernah terwujud, sama seperti dulu saat dia ingin bersama Ariana untuk menyempurkan hidup mereka satu sama lain.

Kali ini, hal itu terulang lagi, bagaimana Daryn melihat mata River yang terlihat terluka dan kecewa saat dia mendengar bahwa ayahnya sendiri mengatakan bahwa anaknya sudah mati.  Daryn cukup yakin setelah ini River mungkin akan menolak untuk mendengar penjelasan darinya.

“Kau selalu melihat bulan saat sedang merindukan Ariana, Daryn.”

Daryn menoleh, Aura, berjalan ke arahnya, senyum tipisnya mengembang kemudian duduk di sebelah Daryn. Aura, ikut menghirup wangi bunga lilac yang diterbangkan angin tengah malam itu, bercampur dengan wangi bunga lain yang dia tanam di kebun bunganya di seberang sana, bersebrangan dengan kebun bunga lilac milik Daryn.

“Apa, sekarang kau sedang merindukannya?” tanya Aura lagi.

Daryn kembali menengadah, menatap bulan sempurna di atas langit malam. “Selalu, aku selalu merindukannya.” Jawabnya.

“Bukankah seharusnya rasa rindumu itu berkurang, karena ada Oriver di sini?”

“Ya, seharusnya. Aku bahkan tidak pernah berani untuk membayangkan bisa bertemu dengannya lagi,” mata biru laut Daryn menatap saudara perempuannya itu, “Aku bahkan tidak pernah berharap dia memiliki keberanian untuk mencariku ke sini, karena aku tahu hal ini akan terjadi, tidak akan ada yang berpihak padaku untuk mempertahankan Oriver. Dan pada akhirnya,  kami akan terluka lagi.”

Aura menggenggam tangan Daryn, meremasnya pelan, “Maaf  Daryn, aku tidak cukup berani seperti Audrey untuk membantumu menyelamatkan Ariana dan Oriver.” Seharusnya Aura mengatakan hal ini dari dulu, rasa penyesalan karena tidak seberani Audrey, saudaranya yang lain untuk membantu Daryn kala itu, saat perang terjadi.

Daryn mengusap tangan Aura, seulas senyum terukir tipis di wajahnya, “Tidak apa, kau sudah membuat keputusan yang tepat, Aura. Kau memang harus tetap di sini untuk melindungi anakmu.”

“Kalau Ariana masih di sini, pasti dia kan kesal karena anaknya sangat mirip denganmu.” Aura mengganti topik pembicaraan. “Apalagi matanya, dalam sekali lihat saja aku langsung tahu kalau dia anakmu, Daryn. Oriver memiliki mata yang sama persis sepertimu.”

Daryn tertawa kecil, “Ya, kau benar. Ariana pasti akan langsung mengomel karena Oriver adalah cetak biru dari Daryn Vladimir.”

“Kecuali keras kepalanya, aku rasa.” Timpal Aura.

Daryn mengangguk, “Kecuali keras kepalanya.” Pria itu mengiakan.

“Kau harus bicara dengannya besok.”

“Akan aku coba.” Daryn menghirup udara lagi, “Besok tolong rangkaikan bunga lilac lagi untuk ku, ya.”

“Kau akan mengunjunginya lagi?”

“Iya, aku ingin berterima kasih padanya, karena sudah membawa anak kami ke sini.”

***

Mata itu tidak berkedip, seolah ingin menangkap setiap detik saat semburat cahaya matahari menyirami hutan-hutan pinus yang masih tertutup kabut tebal.

Kamu akan menyukai ini

          

Oriver, sejak dari semalam tidak beranjak dari jendela bundar yang pinggirannya dia duduki itu. Melipat kedua kakinya, sementara kedua lengannya dijadikan alas untuk memangku dagu.

Banyak yang dipikirkan River semalam ini, pikiran-pikiran yang membawanya pada satu keputusan yang harus dia ambil pagi ini juga.

“River?”

River menoleh, Axel turun dari tempat tidur, mengusap matanya masih masih mengantuk.

“Kau.. dari semalam tidak tidur,ya? Rasanya posisimu sama seperti tadi malam?” tanya Axel.

River turun dari bingkai jendela, “Cuci mukamu, lalu berkemas. Kita pergi dari sini sekarang juga.” Katanya, lalu bergerak membangunkan Ken. Ken tersentak, menatap sekeliling dengan wajah linglung.

“Ken, buka matamu. Kita harus pergi dari sini.”

“Tunggu!” Axel meraih lengan River ketika pemuda itu sudah hampir mencapai pintu, “Kenapa kita harus pergi dari sini?” tanyanya.

“Tidak ada alasan untuk kita tetap berada di sini.” River melepaskan tangan Axel yang masih memegangi lengannya,"Aku akan membangunkan yang lain, bersiaplah.” Lalu River keluar kamar.

Tidak! Ini salah! Axel mengacak rambutnya sendiri, kemudian menyusul River keluar. Sementara Ken yang baru setengah sadar menggaruk rambutnya yang berantakan, namun segera turun dari tempat tidur ketika mendengar suara Axel yang berteriak memanggil nama River.

Saat Axel mengejar River, temannya itu sudah masuk ke dalam kamar Maxime dan Arsen, mengucapkan kalimat yang sama seperti yang River katakan pada Axel.

Seakan tidak mendengar Axel yang berusaha menghentikannya, River sudah berpindah ke kamar Rex dan Aro. Saat River masuk, kedua temannya itu sudah bangun, sedang bercakap di tempat tidur.

“Kemasi barang kalian.” River melempar tas Rex dan Aro ke atas tempat tidur.

“Kenapa?” Rex bergerak turun, menghampiri River yang sudah akan keluar lagi, jika saja Axel dan Arsen tidak menghadangnya, Axel dengan wajah geram sementara Arsen dengan wajah bingung, begitupun teman-temannya yang lain.

“Kau terlalu gegabah mengambil keputusan, River!” sentak Axel.

“Lagi pula kita baru tiba.” Timpal Aro.

“Bisa kalian segera kemasi barang-barang kalian saja?” River tidak ingin didebat, dia menyeruak di antara Axel dan Arsen, keluar menuju kamar Puteri Irene. Di belakangnya, dia tahu teman-temannya mengikuti, dengan kesal, juga bingung. River tidak perduli, baginya tidak ada yang harus mereka lakukan lagi di sini, tidak ada lagi.

River mengetuk pintu kamar Irene dengan tidak sabaran, tak lama sang Puteri keluar dengan wajah jengkel. Matanya sedikit membulat saat melihat sudah ada River dan yang lainnya di depan pintu kamarnya, reflek Puteri Irene langsung merapatkan kimono tidurnya.

Mata Arsen menyipit, dia tidak suka, mungkin lain waktu dia akan bilang pada sang Puteri untuk tidak memakai kimono saat tidur, dia bisa memakai pakaian yang lebih ‘aman’.

“Ada apa pagi-pagi sudah mengganggu ketenangan tidurku, River?” tanya sang Puteri gusar.

“Cepat bereskan barang-barangmu, kita pergi dari sini sekarang.” Katanya.

Mata Puteri Irene kembali melebar,membawa langkahnya selangkah lebih maju dari pintu kamarnya. “Kenapa kita harus pergi? Kau bahkan belum bicara pada ayahmu.”

Ya, itulah yang sedari tadi ingin Axel katakan. Bahkan temannya ini belum bicara pada ayahnya, kenapa tiba-tiba River ingin pergi secepat ini? tanpa bertanya dulu pada mereka, River langsung membuat keputusan sepihak.

“Tidak ada yang perlu aku bicarakan dengannya.” Jawab River, “Apa kalian tidak dengar, kemarin dia berkata pada keluarganya bahwa anaknya sudah mati? Tidak ada gunanya kita di sini, mereka tidak menerima aku di sini, di sini bukan tempat kita.”

“Kau keterlaluan!” bentak Maxime, dia sebenarnya jarang sekali bertindak seperti ini, Maxime lebih suka bersikap santai dalam menghadapi segala sesuatu, namun untuk kali ini dia benar-benar jengkel dengan sikap River. “Kau bahkan belum mendengar penjelasan dari ayahmu, setidaknya, kau harus mendengar penjelasannya. Aku yakin, ayahmu tidak bermaksud seperti itu. Apa kau tidak lihat bagaimana senangnya ayahmu kemarin saat melihatmu? Jangan jadi keras kepala seperti ini!”

“Maxime benar, River.” Kali ini Aro bicara, berusaha menengahi sebelum keadaan semakin memanas karena dia tahu River akan membalas perkataan Maxime mungkin dengan kalimat yang tajam. “Kita sudah sejauh ini, kita sudah sampai di sini, kau sudah bertemu ayahmu di sini, dia terlihat bahagia kemarin bertemu denganmu. Setidaknya, kau harus mendengar penjelasan darinya, aku yakin ini hanya salah paham.”

“Terserah kalau kalian tetap ini di sini, aku akan pergi!” River bersikeras.

“Selamat pagi.”

Suara berdehem dan sapaan itu membuat mereka menoleh ke belakang,  mengintrupsi ketegangan yang terjadi di sana.

seorang lelaki berdiri di belakang mereka, lelaki berpostur tubuh tinggi tegap, matanya hitam pekat senada dengan rambut hitamnya yang dibelah tengah. Lelaki itu menyunggingkan senyum ramah pada mereka.

“Nama saya Dexter, saya kepala pelayan di sini.” Lelaki itu –Dexter, memperkenalkan dirinya. “Nona Helena memberi saya perintah, selama kalian berada di kastil ini semua keperluan kalian harus saya penuhi.”

Rex mendadak merinding saat mendengar nama itu untuk beberapa alasan yang tidak jelas, perlahan, di beringsut mundur di balik punggung lebar Aro.

“Saya ke sini ingin memberi tahu, kalau sarapa kalian sudah siap di ruang jamuan.” Katanya.

Alis Ken bertaut, “Sa..rapan?” tanyanya ragu.

Dexter mengangguk, kemudian tersenyum lagi mengetahui keraguan di wajah para tamunya, “Sarapan manusia tentu saja, nona Helena sudah membuatkannya untuk kalian. Mari, saya antar.”

“Tapi –“ River sudah ingin memotong, namun tangan Puteri Irene menarik lengannya, menyuruhnya untuk diam.

“Beri kami waktu untuk bersiap.” Kata sang Puteri, mengingat dia hanya memakai kimono sekarang.

“Baiklah, saya akan menunggu di bawah.” Dexter membungkuk singkat sebelum kaki jenjangnya melangkah menjauh dari sana, menghilang di beloka dan langkahnya sudah tidak terdengar lagi.

“Mereka sudah menyiapkan sarapan untuk kita, setidaknya tunjukan sopan santunmu, River.” Arsen menyipit tajam pada River, “Sebaiknya kalian bersiap, lalu kita sarapan. Kita akan bahas ini nanti, bukan begitu River?”

River diam, saat ini aura alfa dalam diri Arsen terasa sangat kuat dan entah kenapa berdampak pada River yang bahkan bukan dari kawanan serigala menurut padanya.

Dan jujur, itu membuat Puteri Irene sedikit, sedikit terkesan, diam-diam dia tersenyum, sebelum masuk kembali ke kamarnya untuk berganti baju. 

Sementara itu satu persatu mereka kembali ke kamar, meski Ken harus sedikit menyeret lengan River untuk mengajaknya kembali.

Tbc

Constantine #2 : Bangkitnya Illuminati ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang