Berisik. Dan penuh tawa. Begitulah keadaan ruangan kelasku ketika makhluk berambut kuning cerah ada di dalamnya. Naruto Uzumaki, sang kapten sepak bola, yang beberapa bulan lalu berhasil memenangkan pertandingan antar sekolah tingkat nasional.
Siapa yang tidak mengenalnya? Murid dari luar sekolah kami bahkan mengenalnya. Bukan hanya karena wajahnya yang dikategorikan tampan dan prestasinya di bidang sepak bola, tetapi juga karena keramahannya. Dia mudah bergaul dengan siapa saja. Dan itu bukan sebatas yang berjenis kelamin sama dengannya.
Hampir semua siswi di sekolah berusaha mendekatkan diri, dan Naruto tidak terusik ataupun merasa keberatan sama sekali. Dia tetap menanggapi mereka dengan cengiran khasnya. Senyum cerah yang semakin membuat para murid perempuan makin terpesona.
Termasuk aku.
Aku yang juga sudah jatuh hati padanya sejak tahun pertama. Awalnya kupikir, aku hanya mengaguminya—atau mungkin awalnya, aku memang hanya kagum karena kebaikan dan keramahannya—tapi berikutnya aku sadar, aku benar-benar jatuh cinta padanya. Dan kuyakin, perasaan ini tidak main-main.
Namun berbeda dengan siswi kebanyakan. Aku tidak berusaha lebih untuk mendekatinya. Bukannya sok mau jual mahal. Aku memang tidak bisa melakukannya karena aku tidak memiliki keberanian dan kepercayaan diri yang besar seperti yang lain.
Bagiku, menyukainya secara diam-diam saja sudah cukup. Walau tidak dipungkiri terkadang aku juga mengharapkan lebih. Berharap Naruto memiliki rasa yang sama, meski sepertinya itu mustahil. Kami memang saling mengenal karena pada tahun pertama dan kedua kami berada di kelas yang sama, tapi hanya sebatas itu saja. Selama sekelas dengannya, tidak pernah sekali pun kami berada di kelompok yang sama, atau terlibat perbincangan dalam durasi yang cukup lama pula.
Salahku memang, jadi apa boleh buat. Aku selalu merasa takut. Padahal Sakura sering menyemangatiku untuk mengajaknya bicara, tapi semua keberanianku musnah saat aku melihat sosoknya. Akhirnya aku hanya bisa berharap kalau dia tidak lupa padaku. Meski aku tidak yakin juga dia masih mengingatku.
Berkali-kali Sakura merasa kesal pada sikapku yang pendiam, yang katanya sama seperti Sasuke Uchiha, kekasih Sakura, yang juga merupakan sahabat baik Naruto. Dan mungkin karena itulah Naruto sering datang ke kelasku sebelum jam pelajaran dimulai dan setiap bel pulang berbunyi. Lalu pada jam istirahat seperti sekarang, atau kalau guru yang mengajar di kelas kami kebetulan sedang tidak ada (walau itu jarang sekali terjadi).
Seakan-akan Naruto tidak bisa berpisah dari Sasuke.
Beruntung saja Sasuke sudah memiliki kekasih, karena itulah mereka terselamatkan dari gosip-gosip miring tentang kedekatan keduanya. Tetapi, berhubung satu kandidat siswa keren, tampan, dan juga pintar sudah mendapatkan pasangan. Para murid perempuan yang dulu begitu menggilai Sasuke kini berpindah haluan menggilai sang kapten sepak bola. Ah, sepertinya aku harus meralat kata beruntung tadi.
Tetapi, mau bagaimanapun keadaannya, sebenarnya tidak akan memberi efek apa pun padaku. Maksudnya, pada status hubunganku dengan Naruto. Aku hanyalah mantan teman sekelasnya, yang juga merangkap sebagai pengagum rahasianya, yang diam-diam memperhatikannya. Diam-diam memberinya semangat. Diam-diam ikut berbahagia untuknya. Dan ikut tersenyum setiap melihat senyumnya.
Rasanya begitu saja sudah cukup menyenangkan. Walau kadang hatiku suka berkhianat tentang batasan cukup tadi.
Tetapi, sekali lagi, ini salahku. Dan aku menyesalinya.
Tiba-tiba pintu ruang kelasku terbuka dan rasanya aku ingin melompat keluar jendela begitu tahu siapa yang membuka pintu itu. Tanganku yang sedang menghapus papan tulis seketika tertahan dalam beberapa detik. Beberapa detik yang kami habiskan dengan saling bertatapan. Aku tahu, Naruto memiliki mata yang sangat indah dan aku selalu terpesona melihatnya.
