Aku sedang membaca catatanku, tentang Rayan. Rayan yang memulai kariernya setelah keluar dari sebuah perusahaan furniture dan mendapat dukungan penuh dari kedua orang tuanya. Terutama ayahnya yang seorang pengusaha kayu, ekspor-impor kayu. Dia mendapatkan kemudahan bahan dari Ayahnya, walaupun dalam masalah bisnis, Rayan tetap membayar bahan-bahan yang dia butuhkan.
"Hal menyenangkan apa lagi selain aku bisa beli bahan terpercaya dari seseorang yang sangat bisa dipercaya dan diandalkan?" ujar Rayan ketika menceritakan ayahnya.
Pada masa-masa kosongnya ketika baru saja memutuskan keluar dari perusahaan, Rayan membuka usaha sendiri , menjual hasil karyanya dengan sistem pemesanan di akun-akun media sosial dan website pribadi. Lalu keuntungan yang dia dapatkan selanjutnya, setelah beberapa tahun melakukan bisnisnya itu, dia menemukan celah untuk bertemu dengan seniman hebat di sebuah pameran. Membuka kesempatan untuknya ikut menunjukkan karya di beberapa pameran dan mendapatkan apresiasi baik. Sampai akhirnya dia mengikuti tour Asia ini.
"Aku ingin bisa menyelenggarakan pameran tunggal. Hanya karyaku yang menjadi pusat perhatian," ujarnya saat aku bertanya mimpi terbesar yang ingin dia wujudkan.
Aku mengetikkan semua hal yang telah kukonsep sebelumnya. Lalu tanganku berhenti bergerak saat mengetikkan orang-orang yang berpengaruh dalam kariernya. Ibu, Ayah, Om Dwi, dan Atar-adik laki-lakinya, dia menyebutkan nama-nama itu. Setelahnya, dia seperti memikirkan nama seseorang yang ternyata nggak dikatakan dengan menggelengkan kepala.
Geri? Manajernya yang semalam datang, pasti dia memiliki peranan penting dalam kariernya, kan? Namun aku nggak mungkin menanyakan hal itu dalam waktu dekat, mengingat kejadian kemarin malam.
Aku melirik ke samping kanan, melihat balkon kamarnya yang gelap. Dari sore nggak ada suara dari rumah itu. Apa dia lagi ada keperluan di luar? Lalu pengakuannya tentang suka lihatin aku setiap malam di balkon kamarnya, apa hanya supaya bikin aku blushing aja? Lho, kok aku jadi ngarep gini?
Aku masih mengetikkan jari di atas tuts laptop saat ponsel di atas meja berdering. Aku belum memeriksanya, sampai konsep yang sudah tersusun rapi di kepalaku benar-benar sudah kutuangkan semuanya. Lalu deringan ke-dua terdengar, dan aku meliriknya sekilas untuk mengetahui siapa yang menelepon.
"Belvi?" Aku menggumam, menyebutkan caller-id penelepon, lalu melihat layar utama ponsel kembali terkunci karena tidak mendapatkan respons. Dan tidak lama panggilan ke-tiga terdengar lagi, ponselku kembali menyala menampilkan nama Belvi.
Aku menggeser warna hijau, menerima telepon darinya. Entah apa yang membuatku mau menerima telepon dari Belvi sekarang. Mungkin saja perkataan Mama kemarin yang bilang, Masalah hanya akan memudar jika kamu menghindar. Itu membuatku mempertimbangkan lagi sikap dinginku padanya.
"Halo, La?" Suara itu menyapa telingaku. Suara sahabatku yang biasanya kudengar hampir setiap hari di telepon ketika aku curhat panjang lebar saat malam hari, saat dia sudah pulang kerja dan menanggapiku dengan sabar. Tidak bisa dipungkiri, aku merindukannya.
"Ya?" Suaraku serak, leherku juga seperti tercekik. Aku rindu, rindu Belvi.
"Bisa ketemu? Untuk tanda tangan MoU dan ... tentang satu hal lain," ujarnya.

YOU ARE READING
Monokrom [Sudah Terbit]
ChickLit[Sudah terbit di Google Play] Patah hati memang selamanya akan membawa luka. Bukan melulu masalah cinta, tetapi juga karena harapan yang terhenti. Aku melihatmu pertama kali, dalam keadaan hati yang berantakan. Kamu menyapaku saat aku menginginkan...