Anggia benar-benar datang hari ini, pukul tujuh malam. Dia berteriak di halaman memanggilku yang sedang duduk di depan laptop di kamar lantai dua. Aku sangat antusias awalnya, mendengar suara cemprengnya memanggilku. Aku keluar kamar, menuju balkon dan melambaikan tangan sambil berkata, “Tunggu, gue turun bukain pintu.”“Sahila!” Seseorang baru saja turun dari mobil dan menyusul Anggia, merangkul pundaknya. Dia yang membuat rasa antusiasku hilang dalam sesaat. “Kangen gue juga nggak?” tanyanya.
Senyumku pudar. Karena ada Sam di sana. “Nggak.” jawabku yang disambut tawa dari sepasang kekasih itu. Aku pergi dari sana dan segera turun menyambut pelukan Anggia yang sangat erat.
Terakhir kali kami bertemu akhir tahun lalu, saat perayaan malam tahun baru dan Anggia bersama Sam datang ke Jakarta untuk menghabiskan cuti di akhir tahun. Itu pertemuan pertamaku dengan Sam, karena saat ke Jakarta beberapa waktu lalu, pacar Anggia masih Angga. Dan sebulan setelah putus dengan Angga, setelah nangis drama sambil meneleponku .... Boom! Anggia mengabariku bahwa dia sudah punya pengganti Angga yang jauh lebih baik. Sam, si banyak bicara dan terlalu peduli pada urusan orang.
Selama mereka di Jakarta, aku menjadi guide yang baik. Kami pergi ke Pulau Harapan di Pulau Seribu dan menyewa penginapan di sana. Hanya kami bertiga, karena rencana keikutsertaan Yugo gagal. Kebayang kan aku di sana nelangsanya kayak apa? Di antara sepasang kekasih dengan banyak tempat snorkeling yang menakjubkan, pantai dengan pasir putih, serta sekeliling pulau yang banyak menyuguhkan gradasi warna-warna eksotis. Aku sendirian. Tetapi, aku bersyukur saat itu Yugo tidak jadi ikut karena alasan kerjaan, kalau dia ikut, bisa saja aku akan membenci keindahan Pulau Harapan sampai detik ini.
“Kurusan deh!” Anggia meregangkan tubuh dengan tangan yang masih memegang pundakku.
Sam yang pernah dikenalkan dengan Yugo saat liburan di Jakarta, dan tahu bagaimana nasib cinta bertepuk sebelah tanganku segera berkomentar, “Makanya makan nasi, La. Jangan makan ati mulu.” Dia menepuk-nepuk pundakku lalu masuk ke ruang tamu. See? Mana ciri-ciri Sam yang katanya ‘jauh lebih baik' dari pacar sebelumnya?
“Bukannya udah gue bilang ya, Nggi, untuk nggak ngajak Sam ke sini?” keluhku tanpa memelankan suara sambil ngeloyor ke dapur mengambil dua kaleng Coca cola dari lemari es.
Anggia tergelak. “Dia yang maksa,” jawabnya sambil melihat Sam yang cengengesan.
Aku menatap Sam tajam. “Jangan banyak omong atau gue usir dari sini,” ancamku setelah melempar dua kaleng minuman itu pada mereka dan duduk di sofa yang berseberangan.
Sam masih cengengesan sambil membuka kaleng minuman. “Nah gitu dong, La. Emosi,” ujar Sam seolah sedang memberi semangat dan kemudian melirik Anggia. “Kamu bilang waktu disakitin Yugo, dia diem aja. Itu dia masih bisa marah.”
“Karena ketika patah hati, perempuan lebih mentingin rasa sakit hatinya dari pada harus repot mikirin caranya balas dendam, Beb,” sahut Anggia. Lalu keduanya cekikikkan.
Mereka cocok, punya mulut yang sama nggak sopannya. Seolah-olah aku nggak ada, objek yang lagi jadi bahan obrolan mereka ini. “Harusnya tadi tuh gue pura-pura nggak ada di rumah aja,” gumamku sambil menatap tajam mereka berdua.
“Dan menikmati masa-masa belum move-on dengan menjadi meloholic,” sambung Anggia sambil menatapku meminta persetujuan.
Aku mengerutkan kening. “Dengan kabur dari rumah dan menetap di tempat sepi semacam ini atas saran seorang teman, bukannya itu udah termasuk meloholic banget, ya?”
“Sepi? Lo kan bisa dengar bunyi mesin kayu, palu, paku, pahat, or something dari Rayan Arshad langsung di sini, La.” Anggia terlihat nggak terima. “Saran gue membuat kerjaan lo lebih mudah,” gumamnya kemudian.

YOU ARE READING
Monokrom [Sudah Terbit]
ChickLit[Sudah terbit di Google Play] Patah hati memang selamanya akan membawa luka. Bukan melulu masalah cinta, tetapi juga karena harapan yang terhenti. Aku melihatmu pertama kali, dalam keadaan hati yang berantakan. Kamu menyapaku saat aku menginginkan...