Keiji mendengus, "Makanya..."
"Makanya apa?" Balas cepat si gadis disertai rengutan.
"Yaa, berhenti merengek, mochi. Bukankah sudah kubilang jangan berekspektasi? Manusia dan harapan benar-benar kombinasi yang mengherankan."
"Kalau kalian berdua di sini hanya untuk menceramahiku, pulang sana!"
Keiji—yang paling tua melerai, duduk di antara kedua sahabatnya, menyandarkan kepalanya ke bantalan sofa. "Makanya jangan terlalu berusaha keras. Teori memang mudah diucapkan. Tapi nyatanya, yang terjadi di lapangan adalah kebalikannya. Kita yang berusaha sungguh-sungguh, kerja dengan benar, kadang tak mendapat penghargaan yang seharusnya. Tidak jarang juga bahkan hingga kehilangan kredit atas apa yang kita hasilkan. Saranku untuk situasimu adalah ikhlas."
"Kau dengar? Si bijak keiji telah berujar." Yukine meletakkan ponselnya, duduk bersila menghadap sahabatnya dengan acungan jempol. "Aku tidak tau bagaimana sulitnya pekerjaan kalian tapi tetaplah bernapas."
Si mochi—Hiji menghela napas panjang, "Kalian benar, tapi hal yang lumrah bukan kalau aku merasa kecewa? Proyek itu, aku benar-benar mencurahkan keringatku di sana, hanya untuk dilupakan namaku oleh ketua tim. Rasanya benar-benar tidak adil. Menyebalkan."
Keiji menepuk berulang puncak kepala gadis di sampingnya dengan pelan.
"Dan kau, jadilah bos yang baik. Kenali semua karyawanmu. Jangan sampai seperti atasanku." Tunjuk Hiji pada Yukine yang menyeringai.
"Kalian tau, kapanpun kalian memutuskan mengundurkan diri dari tempat kerja kalian, LYFE akan selalu menyambut kalian."