X-tra : Murka

49.1K 2.7K 584
                                    

Yang minta POV Pangeran nih saya kasih ... tapi jangan lupa di komen ama votenya yang semangat kalo kalian pada lesu saya jadi ikut lesu juga nih buat unggah lanjutannya :p 

Saya punya beberapa part khusus ber-pov Prince Yousoef Akbar, dan itu semua diluar cerita utama ya, tapi karena saya gak ingin part itu dipisah2 maka saya unggah disini aja sebagai bonus.

Selamat membaca readers, ditunggu partisipasi aktivnya, unggah lanjutan ceritanya tergantung pada semangat kalian buat naikin jumlah vote dan komen ya ... jadi gak usah bertanya-tanya lagi kapan ini dilanjut. Kesadaran masing2 aja :)

“Yang Mulia, Nyonya kabur dari kamarnya”.

Rasanya jantungku bagai meledak saat Cunningham memberitahukan aku berita itu.KABUR!Apa maksudnya dengan kabur?

Penjelasan demi penjelasannya semakin menyudutkan aku pada satu perasaan asing dan menyakitkan bernama murka.Jangan ditanya seperti apa murka itu.Benar-benar menyakitkan...

Belum pernah aku merasa begitu tersakiti oleh suatu hal sesakit kemurkaan karena amarah bercampur dengan cemburu.

Jantungku bagai ditimpa dengan suatu beban yang luar biasa berat, atau bagai ada tangan yang merenggutnya secara paksa, mencengkram, dan menahan tiap detak normalnya.

Seperti dibunuh pelan-pelan.

Udara yang kuhirup tak bisa membuat dadaku terasa baikan, setiap tarikan nafas hanya makin menjadikanku merasa bagai seorang Yahudi  yang tengah mengalami genosida didalam kamar gas beracun milik tentara Nazi.

Sesak sekali.Itu baru di jantungku.Sementara anggota tubuhku yang lain bahkan ikut memperparah penderitaan itu dengan membuatnya merasa kaku dan kebas disaat bersamaan.

Yang terburuk adalah saat aku tahu kalau semua rasa sakit itu tidak akan membunuhku.Sebaliknya, untuk pertama kalinya dalam eksistensiku sebagai manusia aku justru bisa merasakan keinginan yang sangat kuat untuk membunuh seseorang.

Aku tak ingat bagaimana bisa tiba di Paris dan melihatnya yang menatap ketakutan padaku dari atas tangga stasiun Gere du Nord.

Aku bahkan tak memahami bagaimana caranya aku memberi perintah pada Kepala Kepolisian Ibukota Paris dalam bahasa Perancis untuk membawa Annisa kedekatku, menyuruhnya masuk kemobil dan mendiamkannya disepanjang perjalanan yang mencekam sementara aku berusaha keras untuk berkosentrasi pada tiap menit yang kuhitung, mencegah diriku untuk tidak berbuat bodoh dengan berkata-kata kasar atau malah berbuat sesuatu untuk menyakitinya didalam mobil.

Setibanya di hotel aku menarik tangannya dengan paksa, mencekalnya erat sambil menulikan telinga dari bisikan setan yang menyuruhku mencekik leher, atau menjambak rambutnya yang kemilau,semata untuk membuatnya mengerti apa yang telah dilakukannya padaku.

Pada harga diriku.

Saat menghempaskan tubuh kurusnya di lift aku tau kalau perbuatan itu sudah sangat kasar...tapi aku tak bisa membantunya karena disaat yang sama mataku benar-benar terasa panas.

Ya! Yousoef Akbar El-Talal ingin menangis hanya karena istri kontraknya kabur ke Paris dengan lelaki lain. Benar-benar lelaki yang sangat memalukan, bukan.

Tapi tentu saja aku tidak ingin menunjukkan kerapuhanku dihadapannya, tidak kalau itu bisa membuatnya semakin tidak menghargai aku.

Jadi aku tetap mengeraskan hatiku saat mendengar dia meringis kesakitan dibelakangku.

Maaf! Aku tidak bisa bertindak bagai gentleman sejati sekarang,tidak disaat yang kurasakan bahkan lebih sakit dari sakit yang membuatnya meringis itu.

          

Dalam perjalanan naik ke penthouse tempatku menginap aku memikirkan cara untuk meredakan kemurkaan yang kurasakan. Kemurkaan yang membuatku merasa bagai di neraka.

Saat pintu terbuka aku masih belum menemukan caranya.

Rasa sesak itu masih menghimpitku dengan paksa membuatku mengabaikan dirinya yang memandangi aku, seakan menunggu ledakan dari seluruh ketegangan suasana yang meliputi kami.

Tanpa memperdulikannya aku membuka jas dan ikatan dasi yang kukenakan. Berharap dengan melakukannya aku bisa merasa baikan.

Tidak, tentu saja cara itu tidak berhasil. Tapi ketika aku membuka dengan kasar kemeja yang kukenakan aku menyadari satu hal.

Tidak ada yang bisa meredakan kemurkaan ini selain sipembuat masalah sendiri, dan saat aku menatapnya aku jadi tau hukuman yang pantas dia terima.

Ciuman itu kulakukan dengan kasar, frontal dan memperlihatkan hasratku yang sesungguhnya.Apa yang selama ini kusembunyikan dan kutahan-tahan kubiarkan lepas dari kendaliku.

Terserahlah aku juga sudah tidak memperdulikannya lagi.

Aku merasakan saat dia berusaha untuk melepaskan diri.Tak kuizinkan tentu saja.Aku justru mencengkramnya semakin kuat seraya memperdalam ciumanku.

Egoku terpuaskan saat kurasa tubuh dipelukanku itu bergetar hebat.Suara tercekat yang keluar dari tenggorokannya menyadarkan aku kalau dia sedang ketakutan.

Tapi apa peduliku! Lagipula dia juga tidak memperdulikan perasaanku dengan melakukan kebodohan yang menyakitkan itu.

Dia harus tahu jika aku bisa sangat kejam dan kasar kalau disakiti.

Sudah seharusnya seperti itu, tapi aku justru melepaskan ciumanku saat air matanya jatuh keatas punggung tanganku.Dinginnya meresap sampai kepori-pori kulitku, meredakan amarah yang berkobar-kobar dahsyat dalam dada ini.Meski begitu aku masih sangat enggan untuk melepaskannya.

“Kenapa kau lakukan ini padaku?” Aku bertanya lirih.

Pertanyaan yang kutujukan bukan untuk kaburnya ke Paris, ini tentang perasaanku yang begitu tersakiti karena ulahnya. Aku benar-benar ingin tau, alasan dibalik rasa porak-poranda ini.

Ingin melihat apa dia juga bisa merasakan hal itu, dengan sengaja aku mengecup kulit sensitif yang ada dibawah lekuk telinga Annisa. Dalam dekapanku kurasakan dia gemetar oleh sentuhan itu, hal yang justrumembuatku terpuaskan melihatnya tersiksa dengan perlakuan itu.

Bibirku bergerak perlahan menuruni lekukan bahunya yang kurus dan terlihat rapuh.Mendengarnya mendesah frustasi, menghadirkan rasa nyaman yang melingkupi jantungku, rasa nyaman yang tidak kuketahui apa sebabnya.

“Istri seorang Pangeran Arab melarikan diri bersama pria lain disaat suaminya tidak ada dirumah, tidakkah itu kelewatan?” pertanyaan itu harusnya diucapkan dengan penuh kesinisan bukan dengan keinginan untuk menggoda dan melihat apa mangsaku ikut tergoda.

Dia menundukkan kepalanya, menghindar dari tatapan mataku. Membiarkan aku menelan bulat-bulat wajah resah gelisahnya itu dengan pandangan mataku yang tajam.

“Hu-kum s-saja aku.” bisiknya pelan, “tapi kumohon, bebaskan Putra,”pinta-nya sambil menatap mataku dengan penuh permohonan.

Api kecil dalam dadaku berubah menjadi aliran magma kebencian yang meluap-luap. Amarah yang belum sepenuhnya reda itu berkobar kembali mendengarnya menyebut nama itu.

Dia memohon.

Memohon padaku untuk orang asing itu.

Tidak bisakah dia mengerti diriku? Tidak bisakah dia sadar kalau yang paling kuinginkan adalah hanya aku yang dia pedulikan. Aku dengan perasaanku yang kalut ini.  

TKI (Tenaga Kerja Istimewa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang