Gadis tidak bisa tidur. Tadi, setelah menjemput Rere dari rumah orangtua Adrian, Gadis langsung masuk ke dalam kamar. Tidak mengeluarkan sepatah katapun lagi. Bahkan saat Rere bertanya-tanya kenapa kedua mata orangtuanya terlihat bengkak, Gadis hanya berusaha tersenyum kecil dan tetap bungkam.
Sudah pukul satu malam. Tidak sekalipun mata Gadis bisa terpejam. Dia hanya berbaring gelisah menatap langit-langit kamar.
Merasa gusar, Gadis beranjak duduk. Matanya memerhatikan sekitar. Sudah dua malam dia menempati kamar milik Adrian ini, tapi baru kali ini Gadis benar-benar mengamatinya.
Kamar Adrian hanya sebuah kamar minimalis. Tidak banyak perabotan di dalamnya. Hanya satu tempat tidur king size, dua lemari pakaian, satu meja kecil di samping tempat tidur yang di atasnya terdapat dua buah buku dan juga sebuah lampu hias. Di sisi kiri terdapat sebuah cermin besar berbentuk persegi yang memanjang horizontal. Warna kamar itu dominan abu-abu dan putih. Khas seorang laki-laki yang sudah lama melajang.
Gadis menghela napas sambil mengurai rambut kebelakang. Dia melirik Rere yang tidur sangat pulas, lalu perlahan-lahan menyibak selimut. Kedua kakinya sudah menyecah kelantai tapi Gadis tidak tau ingin berbuat apa. Menatap pintu kamarnya lama, Gadis meragu jika ingin keluar kamar.
Rasanya dia belum siap harus bertemu dengan Adrian lagi setelah percakapan terakhir mereka.
Gadis sudah memberitahu Adrian tentang ketidak mungkinan mereka untuk menikah karena tidak akan ada restu dari Ayah ataupun keluarganya. Dan setelah Adrian memeluknya cukup lama sambil menangis, yang masih membuat Gadis terkejut sampai saat ini, Adrian tidak mengatakan apa pun lagi.
Maka itu Gadis mengambil kesimpulan kalau Adrian juga memikirkan hal serupa.
Mereka tidak akan menikah.
Gadis menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kemudian dia beranjak keluar dari kamar, membuka dan menutup pintu dengan teramat pelan agar tidak mengeluarkan bunyi deikitpun.
Tadinya Gadis ingin pergi ke dapur. Tenggorokannya terasa kering dan dia butuh minum. Tapi saat melihat lampu dari ruang televisi yang masih menyala, Gadis membawa langkahnya kesana.
Lalu dia menemukan sosok Adrian yang sedang berdiri di depan pintu geser yang menghubungkan ke beranda. Tirainya masih terbuka. Gadis melirik ke arah luar, mencoba mencari hal menarik apa yang sedang Adrian nikmati. Tapi tidak ada. hanya kerlap kerlip lampu dan juga gelapnya malam.
Kembali mengamati Adrian, Gadis terpaku pada punggung Adrian, menatapnya sendu. Gadis tidak mengerti kenapa, tapi setelah mendengar tangisan Adrian tadi dia merasa turut iba pada Adrian.
Mengingat betapa keras kepalanya dia menginginkan pernikahan. Menjanjikan hal-hal yang menurutnya akan dia jadikan sebagai penebus dosanya pada Gadis dan Rere, Gadis merasa... mungkin saat ini adalah titik dimana Adrian merasa sudah jatuh dan tidak lagi sanggup berdiri.
Dia sudah kalah. Dan seharusnya Gadis senang. Tapi sayangnya, dia tidak bisa merasakannya.
"Kamu ngapain di situ?"
Gadis tersentak dari lamunannya. Entah sudah berapa lama dia melamun sambil mengamati punggung Adrian hingga tidak menyadari si pemilik punggung sudah berdiri menghadap padanya.
Mengerjap gugup, Gadis mengulum bibirnya sebelum memutar tubuhnya dan melanjutkan niatnya untuk mengambil air minum.
Tapi ternyata Adrian mengikutinya. Bahkan kini mereka berdiri berdampingan di balik bar kitchen. Gadis menunduk sambil menggenggam erat gelasnya, sedang Adrian hanya berdiri diam menatap lurus kedepan.
"Aku gak tau apa yang sekarang sedang kamu pikirkan. Tapi yang jelas, saat ini aku sedang berpikir kalau Tuhan sengaja mempersulit semua jalan yang kupunya untuk menjadikan kalian sebagai milikku."
Gadis mengangkat wajahnya dan menolah pada Adrian mendengar itu.
Adrian tersenyum kecut. "Pertama kali aku mulai berpikir kalau Rere adalah putriku, aku hampir mati ketakutan. Bagaimana kalau ternyata itu benar? bagaimana kalau Mama Papa tau? Apa yang harus kulakukan?" Adrian menggelengkan kepalanya samar. "Aku bahkan menerima ide konyol Mama mengikuti kencan buta demi melarikan diri dari semua kecurigaan itu.
"Tapi entah kenapa, setiap kali aku ingin berlari, maka selalu ada Rere yang berusaha menarik tanganku lagi. Membuatku sulit untuk melarikan diri dan akhirnya merasa putus asa. Tapi setelah itu aku berpikir," Adrian menoleh kesampingnya, membalas tatapan Gadis yang sayu. "Tentang kamu."
Gadis menggenggam gelasnya lebih keras.
"Bagaimana kamu menerima perlakuan berengsekku dan mengalami semua masalah yang kutimbulkan seorang diri. Bahkan kamu mau membesarkan Rere," Adrian menatap Gadis lekat. "Umur kita saat itu terlalu muda. Sangat muda. Dan kamu memilih tidak membuang Rere. Itu yang membuatku akhirnya mempunyai keberanian untuk melangkah sejauh ini.
"Kalau kamu yang menurutku gak punya kekuatan sebesar kekuatan yang aku punya aja bisa melakukannya, kenapa aku nggak?"
Gadis mulai merasa tidak nyaman dengan percakapan mereka. "Aku rasa sebaiknya kita gak perlu..."
"Aku marah," Adrian mengetatkan rahangnya. Kedua matanya memerah. "Aku ingin sekali membunuh diriku sendiri saat tau apa yang pernah kamu..." Adrian mengusap wajahnya kasar. Setiap kali Adrian membayangkan Gadis yang mengalami hal serupa sepertinya saat sedang di pukul oleh Papanya, dia merasa murka. Kini dia paham mengapa Gadis tampak histeris saat melihat kondisinya saat itu. "Harusnya aku yang menerima semua itu. Bukan kamu. Kamu gak sepantasnya-"
"Aku udah lihat kamu mendapatkan hal yang sama kemarin," gumam Gadis. "Jadi jangan lagi mempermasalahkan semua itu. Aku sudah jauh mengubur masa laluku. Sejak Rere lahir, sejak aku mendengar tangisannya untuk yang pertama kali, aku sudah melupakan semuanya."
"Sayangnya aku gak bisa, Dis... aku gak bisa." Kepala Adrian menggeleng pilu. Dia menatap Gadis dengan tatapan menyedihkan. "Bertahun-tahun aku menikmati hidupku dengan cara yang aku mau. Aku berkencan dengan banyak perempuan, sementara kamu mungkin sedang kebingungan karena Rere sakit. Aku bisa membeli makanan semahal apa pun yang kumau, sedangkan kamu harus bekerja keras agar bisa mengisi perut kamu."
Gadis merasa kedua matanya basah. Pandangannya mengabur akibat air matanya. Teringat saat-saat dimana dia mengalami semua itu. Sendirian.
Begitupun Adrian. Hatinya sakit membayangkan semua itu. "Semua itu gak adil. Aku yang melakukan kesalahan. Aku yang bersalah, tapi kenapa hanya kamu yang menanggungnya sendirian?"
Gadis merasa air matanya berjatuhan ke wajahnya. Membuatnya memilih menunduk dan kembali terisak.
"Aku yang bersalah..." suara bergetar Adrian terdengar semakin lirih. "Dan kenapa di saat aku ingin menebus kesalahanku, ingin membayar semuanya, Tuhan malah mempersulit semua ini. Kenapa..."
Gadis memejamkan matanya dan membuat air matanya semakin menderas. Tangannya mengepal kuat menggenggam gelas. Ucapan Adrian terdengar sangat tulus dan itu membuatnya merasa lemah.
"Atau mungkin..." Adrian menjeda kalimatnya sejenak. "Tuhan hanya ingin melihat usahaku lebih keras untuk mendapatkan semua ini." isakan Gadis terhenti dengan cekatan yang terdengar tajam. Dia menoleh cepat menatap Adrian. Kali ini lelaki itu sudah menatapnya lekat. "Aku hanya harus berjuang lebih keras lagi, kan? Agar aku, kamu dan Rere bisa benar-benar bersama. Aku harus berjuang. Seperti kamu yang berjuang untuk Rere, untuk seseorang yang berasal dari kesalahanku, keberengsekanku."