Sebenarnya, Jimin menyesal.
Dia menyesal karena dulu menerima Jungkook sebagai kekasihnya.
Dia menyesal karena dulu sering membiarkan Jungkook berbuat semaunya.
Dia menyesal karena dulu sering memaafkan Jungkook.
Tapi dia sadar, semua rasa penyesalan itu tidak ada artinya. Karena sekarang, Jungkook sudah sepenuhnya merantai dirinya, mengurungnya dalam sangkar emas tanpa kunci yang bisa membawanya keluar.
Sekeras apapun dia berusaha untuk melepaskan diri, Jungkook akan tetap menangkapnya.
Bahkan rasa penyesalan yang begitu menyedihkan itu tercampur dengan rasa sayangnya. Lambat laun, Jimin mencintai Jungkook meskipun dia membencinya. Sikap Jungkook begitu spesial, hanya untuk dirinya, membuat Jimin lemas tanpa bisa melawan.
Jimin tau Jungkook adalah racun yang harus segera dihindari, tapi ia tetap berada dalam dekapan Jungkook. Ia tetap membiarkan tubuhnya berada di bawah kendali Jungkook. Dan ia tetap membiarkan Jungkook menggenggam kuat-kuat hatinya.
Karena sudah sejak lama, hatinya bukan lagi miliknya, melainkan milik Jungkook.
Jungkook adalah racun yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Berapa kalipun Jimin disuguhkan pemandangan perkelahian Jungkook, wajah marah Jungkook dan tingkah posesifnya, Jimin tetap memeluk Jungkook.
——
——Jungkook dan Jimin saling mengenal sejak orang tua mereka mengadakan acara makan malam sebagai sambutan kepindahan keluarga Jungkook. Saat itu, umur Jungkook masih 18 dan Jimin 19. Mereka sama-sama kuliah, tapi Jungkook sudah berhenti semenjak ayahnya menyerahkan perusahaan ke tangannya.
Jimin itu adalah mahasiswa yang suka telat. Apalagi jika masuk mata kuliah dengan jam pagi yang luar biasa pagi. Tidak tanggung-tanggung dia langsung berangkat tanpa mandi, karena dia masih punya ketakutan dengan dosen dan absensi. Jimin sudah tiga kali titip absen pada temannya, dan kali ini, dia tidak mau titip absen lagi. Karena dia tau, cepat atau lambat, dosen yang mengajar pasti akan mengetahui ketidak hadirannya. Selain itu, dia juga tidak ingin mengulang mata kuliah yang sama di tahun depan.
Saat itu, Jungkook yang kebetulan memiliki jam kantor pagi juga terlihat tergesa-gesa karena terlambat. Entah apa yang dilakukannya semalam, tapi baru kali ini dia terlambat ke kantor. Keduanya tidak sengaja saling tatap dan berakhir dengan Jungkook yang menawari tumpangan ke kampus. Jimin sih iya iya saja, asalkan dia cepat sampai ke kampus.
Sebenarnya, ada rasa iri dan terinjak begitu melihat orang yang lebih muda sudah sukses terlebih dahulu. Kadang, Jimin enggan menyapa Jungkook karena dia sering merasa kesal setiap kali melihat Jungkook berpakaian kantor dan baru pulang saat jam sudah menunjukkan pukul 11 malam.
Tapi lama kelamaan perasaan kesal dan iri itu menghilang setelah mengenal Jungkook lebih dekat.
Jungkook itu manis, lucu, menggemaskan, baik dan ramah. Dia sering menunjukkan senyumnya yang manis, atau terkadang menunjukkan gigi kelincinya yang sangat lucu. Jungkook bahkan tidak pernah mengeluh karena sering mengantar Jimin ke kampus sebelum pergi ke kantornya.
Dan berkat semua itu, Jimin merubah pemikirannya tentang Jungkook.
Lama-kelamaan, Jimin merasa ada yang mengganjal saat berada di dekat Jungkook. Awalnya, dia mengira mungkin itu hanya perasaan bersalah karena sering membuat Jungkook mengantar jemput dirinya, atau menyita waktu Jungkook hanya untuk menemaninya bermain. Tapi akhirnya Jimin sadar, perasaan mengganjal itu bukan perasaan bersalah, melainkan perasaan suka yang semakin mengembang dan meletup dihatinya. Jimin jadi suka melihat Jungkook, terlebih kalau pemuda itu meluangkan waktunya hanya untuk menemaninya.
Seiring dengan berjalannya waktu, Jungkook juga menyukai Jimin. Mereka akhirnya resmi menjadi kekasih tepat ketika Jimin naik semester.
Awalnya, semua berjalan lancar. Jimin masih menemukan Jungkook yang manis, lucu dan selalu menunjukkan senyum. Tapi semua itu langsung menghilang, musnah tanpa jejak semenjak dirinya memperkenalkan sahabatnya pada Jungkook.
Saat itu, Jungkook terlihat memasang wajah suramnya. Auranya juga terasa begitu gelap dan menakutkan. Jimin sudah mencoba bertanya ada apa, tapi Jungkook tidak menjawab. Hanya ada tarikan tangan yang terasa kasar tanpa kelembutan seperti biasanya. Rahangnya juga sering mengeras setelah perkenalan itu.
Jungkook tidak lagi menunjukkan senyum lucunya.
Jungkook tidak lagi menunjukkan kelembutannya.
Dia benar-benar berubah 180 derajat. Seakan Jungkook yang baik kini berganti peran menjadi Jungkook yang jahat, seperti monster.
Jimin ketakutan, hampir tidak mengenali Jungkook. Karena Jungkook jadi sering membentaknya dan berbuat kasar padanya kalau ia terlihat berdekatan dengan orang lain.
Memang, awalnya Jimin senang saat mengetahui Jungkook cemburu. Itu berarti, Jungkook mencintai Jimin. Tapi lama kelamaan rasa cemburu Jungkook terasa mengerikan, melebihi apapun. Jungkook tidak segan memperkosa Jimin, mengurung Jimin atau mengikat Jimin di ranjangnya agar Jimin tidak pergi kemana-mana—terlebih pergi menemui orang lain.Dan setelah semua itu terjadi, Jungkook pasti akan meminta maaf pada Jimin. Pemuda itu akan memeluk Jimin, menciumi Jimin dan memanjakan Jimin dengan kasih sayangnya seperti dulu.
Tapi tetap saja, baginya, Jungkook adalah monster. Dan sayangnya, semarah apapun ia, sebenci apapun ia, uluran tangan Jungkook tetap ia terima.
Karena Jimin sudah terlanjur jatuh.
——
——Malam itu, setelah membawa Jimin pulang kembali ke apartemen mereka, Jungkook segera membersihkan diri,mengganti pakaian dan bersantai—menjernihkan pikiran di balkon. Wine merah kesukaannya selalu menemani disaat-saat seperti ini, membuat Jungkook mendesah puas karena merasa kepalanya sudah mulai ringan. Tidak dipedulikannya udara dingin yang menusuk tulang, Jungkook tetap berdiri di sana dengan tangan kanan mengangkat gelas kaca berisi cairan merah gelap itu—seakan-akan tengah bersulang dengan rembulan setengah lingkar yang masih bertengger di langit.
Sejak kepulangan mereka berdua, Jungkook sama sekali tidak berbicara dengan Jimin. Karena setiap kali melihat wajah Jimin, maka ia akan teringat Daniel yang dengan se-enak jidat memeluk dan menggenggam tangan pemuda kecil kesayangannya.
Rahangnya kembali mengeras saat mengingat adegan tidak menyenangkan itu. Bola matanya menggelap. Tenggorokannya mendadak terasa kering dan panas, begitu juga dengan hatinya yang ikut merasakan kobaran api.
Ia benar-benar tidak suka. Sangat tidak suka.
Detakan jantungnya menggila seiring dengan telinganya yang sering mendengar suara Jimin. Pemuda kecil kesayangannya itu terdengar menangis tersedu di dalam kamar, meminta dirinya untuk segera datang dan memeluknya.
Tapi ia suka. Sangat menyukai suara itu.
Jungkook sangat suka mendengar suara penuh keputus asaan itu mengudara di dalam apartemennya tanpa henti—seakan-akan sudah menjadi lagu favoritnya. Maka, Jungkook mengabaikan isak tangis Jimin. Memilih menghabiskan satu botol wine merah kesayangannya dengan kesadaran yang masih terkendali total.