4. Ampun Bos

114K 14.2K 405
                                    

"Saya nggak pernah nyuruh kamu lembur. Kalau kamu sampai lembur itu justru saya yang harusnya tanya, dari pagi ngapain?"-Bos



Mbak Karenina melirik jam tangan dengan gelisah. Sepuluh menit lagi harusnya ia sudah berada di depan calon user untuk diwawancara. Sudah satu jam kami terjebak di sini. Boro-boro bisa mengirimkan pesan lewat handphone, memegang handphone saja rasanya dia tidak berani.

"Kenapa analisisnya cuma begini... ehem," kata Dewa Bos dengan intonasi yang penuh penekanan dimana-mana.

Mbak Karenina yang tadinya sibuk memperhatikan jam tangan mendadak diam. Dewa Bos itu adalah partner Asia Pasifik. Umurnya 45 tahun. Dia selalu lupa kalau ditanya berapa umur anaknya. Semua orang sudah hapal intonasi mengerikan itu. Ruang presentasi mendadak hening. Tigran menarik napas dalam-dalam. Proposal kami untuk salah satu perusahaan minyak dan gas terbesar di Indonesia mendadak diremas oleh Dewa Bos.

"Katanya lo paling jenius se-Asia Tenggara kok proposal kayak gini sih Gran?" Intonasi sinis Dewa Bos mulai makin kejam.

Aku meremas ujung rok. Kulihat tangan Mbak Karenina sedikit bergetar. Mas Andre memajukan posisi duduknya.

"Kita sudah melihat dari semua aspek," kata Tigran.

Tigran mungkin bos paling buruk sedunia di depan anak buahnya. Tapi saat seperti ini adalah saat langka dimana kami akan hormat pada Tigran. Tigran, selalu membela kami di depan Dewa Bos.

"Kalau gue bilang belum semua gimana? Lo cuma lihat aspek produksi doang, teknologi, cut cost, operasional. Diversifikasi bisnis mana? Produk?" Dewa Bos mengangkat proposal kemudian membantingnya ke meja.

Aku memejamkan mata.

"Ya lo cuma lihat yang ada di proposal, kurang ini itu. Lo sudah cek statistik marketnya?" Tigran berbicara tanpa ada rasa takut.

"Ya kalo lo mikirnya gitu lo taro dong di sini Gran!" Dewa Bos mulai tidak bisa mengontrol emosinya, "yang leading project ini siapa sih? Karenina apa Andre?"

"Gak penting siapa tapi gue sudah review semuanya," Tigran pasang badan.

Mas Andre membuka mulutnya tapi Tigran yang duduk di sampingnya memberikan tanda untuk tidak ikut campur.

"Terus kalau anak buah lo nggak boleh ngomong di sini ngapain pada masuk?" Tanya Dewa Bos sinis.

"Ya lo minta meeting komplit," Jawaban Tigran membuatku menelan ludah.

Mbak Karenina melirik ke arahku. Sudah lama kami curiga dengan sikap Tigran yang selalu tampil gagah berani di depan bos - bos Asia Tenggara atau bahkan Asia Pasifik. Dugaan kami, mungkin Kakek Tigran itu salah satu founder perusahaan ini, atau paling tidak, Tigran ternyata anak dari salah seorang Klien kami yang menyumbangkan pendapatan cukup signifikan bagi perusahaan. Coba kalau Mas Andre yang bicara begitu dengan Dewa Bos? Bisa - bisa baru melirik sinis saja sebuah sepatu sudah melayang ke mukanya.

Dewa Bos mendengus kesal. Ciri khasnya kalau ia benar-benar naik pitam.

"Gue nggak mau lihat proposal kayak gini lo kasih ke gue lagi," Dewa Bos keluar dari ruang rapat.

Seketika pintu ditutup, Kacung Kampret bisa menghela napas. Tigran belum bergerak barang satu inchi pun. Kami juga bergeming, saling bertukar pandang. Kalau dewa bos menolak, itu artinya akan ada sleepless nights selama dua hari ke depan. Proposal harus dimasukkan 3 hari lagi. Tidak mungkin kami kehilangan proyek ini. Target di depan mata masih menganga lebar. Bonus tahunan di penghujung tahun sudah berdiri di ujung jurang.

"Lo yang benar dong kalo kerja Karen," Tigran memulai transfer kemarahannya.

"Iya, maaf," Mbak Karenina menunduk.

"Iya ini typo di halaman 4 sama 7. Untung nggak kelihatan," Tigran duduk bersandar sekarang.

Aku, mbak Karenina, dan Mas Andre melongo bersamaan. Sedangkan Tigran membolak-balik proposal dengan santai.

"Typo Gran?" Mbak Karenina memasang tampang paling tolol sedunia.

"Iya typo, lain kali dicek dulu," Tigran menutup proposal kemudian berdiri.

"Yang kurang biar gue tambahin," Kata Mas Andre.

"Oh nggak usah Ndre. Anak lo ulang tahun kan? Balik saja," Kata Tigran datar, "Lo juga Karen, balik saja, bukannya suami lo sakit?" Tigran mengambil proposal itu.

"Lo saja Ra yang ngerjain," Matanya menunjukku.

"Hah?" Aku melotot.

Jam menunjukkan pukul 7 malam dan baru ada perintah.

"Kenapa hah hah? Malas lembur? Lembur itu mindset. Kalau kamu ngerjain ini cepat, kamu cuma perlu waktu sebentar kok," Tigran menceramahi.

Tigran keluar dari ruangan rapat meninggalkan tiga anak buah yang kini merenung.

"Jadwal interview gue lewat. Selesai deh," Mbak Karenina akhirnya bersandar.

"Gue nggak nyangka Tigran bakal pasang badan gitu," Mas Andre terlihat takjub.

"Sama, gue pikir tadi gue bakal dia sodorin ke mulut buaya. Jelas-jelas itu proposal ide gue. Gue jadi nggak enak mau resign," Mbak Karen menatap meja dengan pandangan kosong.

"Sama," Kata Mas Andre.

Aku berdiri, "Ya lo berdua mah enak disuruh pulang. Gue?!" Kataku kemudian berbalik.

Resign!!! (Only 6 Chapters Left)Where stories live. Discover now